Seorang gadis tampak tengah terpaku di depan laptopnya yang tampak tengah menampilkan profil facebook milik
seseorang –yang tampaknya bukan milik sang gadis– tatapannya terlihat sendu
memandang sebuah foto yang tertampang di depannya. Dia menghela napas panjang
matanya tampak kalut.
“Sudah tiga tahun lebih ya. . . ” Sang gadis menggumam pelan, matanya
tidak lepas sedikitpun dari sosok sang pemuda.
Tiga tahun lebih sang gadis menyimpan bayangan sang pemuda di dalam
hatinya. Tiga tahun pula hatinya berulang kali jatuh dan patah gara-gara pemuda
yang sama. Mungkin jika diibaratkan sebagai sebuah benda, maka hatinya bagaikan
sebuah keramik yang sudah penuh dengan retakan, bahkan sudah pecah di sana
sini.
Entah apa yang membuat sang gadis begitu mencintai sang pemuda,
padahal jika dilihat-lihat sang pemuda memiliki wajah yang standar. Sang pemuda
juga terkenal angkuh karena tingkah polahnya, banyak dari teman sang gadis yang
mengatakan langsung kepadanya bahwa mereka tidak suka pada sang pemuda karena
sikap angkuhnya yang terlihat begitu jelas, apalagi saat sang pemuda berjalan, dia
akan melangkahkan kaki jenjangnya dengan percaya diri, dagunya akan terangkat
tinggi, belum lagi matanya yang memandang lurus ke depan seakan mengabaikan
keberadaan kawan-kawannya. Tapi bagi sang gadis hal-hal tersebut tidak lantas
membuat sang pemuda terlihat angkuh, baginya hal yang dilakukan sang pemuda
membuatnya terlihat sangat cool. Yah siapapun juga tahu bahwa cinta itu buta.
Tapi rasa-rasanya sang gadis terlalu buta untuk melihat kenyataan yang
ada di depannya, kenyataan bahwa sang pemuda sudah memiliki kekasih yang selalu
ada di sampingnya. Kenyataan bahwa sang pemuda tak pernah sekalipun melihat ke
arahnya, ah bukan, bukannya sang gadis buta akan hal itu, dia sadar bahkan
sangat sadar mengenai hal tersebut, hanya saja dia lebih memilih membutakan
matanya dan berpura pura tidak melihat kenyataan.
Tidak ada seorangpun yang tahu kapan tepatnya sang gadis mulai jatuh
cinta pada sang pemuda. Sejauh yang diingatnya, dulu mereka bertemu pertama
kali saat nama mereka sama-sama tercantum dalam selembar kertas pada saat
pembagian kelas. Waktu pandangannya pertama kali bertemu dengan mata elang sang
pemuda, hanya satu hal yang muncul di benaknya ‘Pemuda ini menyeramkan’ sejak
saat itu sang gadis memutuskan untuk menjaga jarak dengan pemuda menyeramkan
itu, dia hanya ingin menjalani masa SMA nya dengan tenang.
Yang diingatnya, saat itu dia sedang berjalan melewati tempat duduk
sang pemuda saat matanya menangkap sosok yang bertengger manis di buku gambar
sang pemuda. Sang gadis –yang memang menyukai segala hal yang berhubungan
dengan makhluk 2D– tanpa sadar melangkahkan kakinya mendekati sang pemuda.
“Wah! Keren! Aku tak tahu kalau kau bisa menggambar sekeren ini!” Sang
gadis berkata dengan antusias.
“Hahaha. . . benarkah? Ini bukan apa-apa” Sang gadis terpaku saat
mendengar suara tawa sang pemuda, tak pernah disangkanya sama sekali kalau
ternyata pemuda di depannya ini memiliki suara yang sangat lembut. Dalam
sekejap sang gadis memutuskan bahwa suara tawa sang pemuda ini masuk dalam
daftar hal-hal yang disukainya.
Sejak saat itu sang gadis tidak lagi mencoba menghindari sang pemuda,
dia mencoba menyamankan diri saat dia berada di samping sang pemuda. Ternyata
hal tersebut tidak susah terlebih lagi sang pemuda yang selalu menggodanya bila
mereka bertemu, sang pemuda selalu berhasil memunculkan senyuman di wajah sang
gadis dengan cara-cara sederhananya. Hal yang selalu dilakukan sang pemuda saat
ia duduk di depan sang gadis pada saat istirahat, dia pasti akan menghadap ke
belakang ke arah sang gadis, dia akan memandang sang gadis lekat-lekat matanya
akan mengawasi setiap gerak gerik sang gadis tanpa berkedip sedikitpun. Hal itu
akan membuat sang gadis salah tingkah, siapa coba yang tidak akan salah tingkah
saat setiap gerak-gerik yang kau lakukan selalu diamati oleh orang lain. Jika
sudah begitu sang gadis akan menggembungkan pipinya dan mendorong wajah sang
pemuda dengan benda apapun yang ada di tangannya (biasanya sih buku). Lalu
sang pemuda akan terkekeh pelan melihat respon sang gadis, kekehan pelannya itu
selalu berhasil menghilangkan amarah sang gadis, membuat sang gadis memilih
memalingkan wajahnya.
Saat itu juga sang pemuda duduk di depannya dan dia menggoda sang
gadis seperti biasa, hanya saja kali ini dia mengomentari rambut panjang milik
sang gadis.
“Hei, rambutmu dipotong saja, terlalu panjang itu” Yah sang gadis
memang memiliki rambut yang sedikit melebihi batas –rambut sang gadis
panjangnya melebihi pantat–
“Gak ah, sudah dari kecil aku memanjangkannya kan sayang kalau
dipotong” Sang gadis menjawab dengan cuek.
“Dipotonglah, sebahu gitu, kamu pasti kelihatan lebih cantik kalau
rambutnya pendek”
“Gak, aku mah jelek, mau diapain saja juga tetap jelek” Sang gadis
kekeuh pada pendapatnya.
“Eh, tapi aku lebih suka cewek yang jelek kok” Sang gadis hanya
mengerjapkan matanya bingung. Sementara itu sang pemuda sudah asyik bercanda
dengan teman sebangkunya, meninggalkan sang gadis yang kebingungan.
Seingatnya beberapa hari kemudian, di pagi hari saat pelajaran belum
dimulai sang pemuda tampak kebingungan karena handphonenya hilang. Dia bertanya
ke seisi kelas juga kepada sang gadis yang hanya menggelengkan kepalanya tanda
tidak tahu yang membuat sang pemuda semakin kelabakan mencari kesana-kemari.
Kemudian saat pulang sekolah, seperti biasa sang gadis pulang bersama dengan
teman-temannya saat itu dilihatnya sang pemuda yang tengah bersandar di dinding
gang yang merupakan jalan masuk ke sekolahnya. Begitu melihat kehadiran sang
gadis, pemuda itu beranjak dari dinding tempat bersandarnya dan menghampiri
sang gadis.
“Hei, aku boleh pinjem handphonemu?”
“Hah, mau buat apa?” Sang gadis mengeluarkan Handphonenya dan
menyerahkannya pada sang pemuda.
“Mau misscall handphoneku”
“Hoo. . . masih belum ketemu ya?”
Sang pemuda hanya mengangguk, sementara tangannya asyik menari
mengetikkan sebaris nomor miliknya. Sang gadis memandang sang pemuda penasaran
saat dilihatnya sang pemuda itu memanggil nomornya sendiri.
“Ketemu?” Sang gadis tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Sang pemuda hanya menggeleng pelan lalu menyerahkan handphone milik
sang gadis. Sementara itu sang gadis hanya bisa memandang sang pemuda dengan
pandangan sedih.
“Hmm...” Mata sang gadis melotot kaget saat sang pemuda memasukkan
tangannya ke saku jaketnya dan mengeluarkan handphone yang menjadi sumber
masalah itu.
“Namamu. . .” Sang pemuda menyebutkan nama sang gadis sembari mengetik
nama di daftar telfonnya.
Dan sang gadis pun baru tersadar kalau ternyata sang pemuda menipunya.
Sejak saat itu mereka berdua semakin dekat, mereka saling melempar
candaan satu sama lain. Jika mereka bertemu maka mereka akan saling menggoda,
mungkin saat itulah rasa cinta mulai tumbuh di hati sang gadis, siapa yang
tahu?
Hubungan mereka seharusnya semakin dekat, ya seharusnya sih seperti
itu. Namun saat semester dua dimulai saat itu juga hubungan mereka mulai
merenggang, mereka terlihat saling menghindar satu sama lain, mereka juga
terlihat semakin jarang bercanda bersama.
Saat-saat selanjutnya semua semakin parah, mereka sudah seperti orang
yang tidak saling kenal, saat mereka bertemu jangankan saling sapa,
tersenyumpun tidak. Saat kelas tiga adalah saat paling puncak bagi sang gadis.
Dia mendengar gosip yang mengatakan bahwa sang pemuda yang terkenal cuek itu
akhirnya memiliki kekasih, awalnya sang gadis sama sekali tidak mau percaya
namun saat dilihatnya sang selalu bersama dengan seorang gadis yang merupakan
adik kelas mereka, membuat sang gadis mau tak mau mempercayai gosip itu.
Sang gadis tetap memaksakan senyumannya kepada teman-temannya yang
memandang ke arahnya dengan tatapan khawatir saat secara kebetulan mereka
berpapasan dengan sang pemuda yang tengah asyik bersenda gurau dengan
kekasihnya.
Seperti saat ini, saat mereka hendak ke kantin, sang gadis berjalan
sambil tertawa melihat ulah teman-temannya yang tengah melontarkan candaannya
satu sama lain saat tiba-tiba salah seorang dari mereka membalikkan badan sang
gadis menghadap belakang membuat sang gadis berhenti tertawa dan menatap
temannya itu dengan pandangan bingung.
“Ah, aku ingin pipis, ke toilet yuk” Sang gadis menatap heran ke arah
temannya, saat tiba-tiba dia mendengar suara yang sudah sangat dia kenali dari
belakangnya membuat tubuhnya membeku.
“Jangan menoleh ke belakang” Dengan suara parau teman sang gadis itu
memperingatinya, membuat sang gadis sadar kenapa tadi temannya itu membalikkan
badannya ke arah belakang, rupanya temannya itu tidak ingin sang gadis melihat
pemandangan menyakitkan itu, pemandangan di mana sang pemuda tengah berjalan
bersama dengan kekasihnya.
Sang gadis mengalihkan pandangannya ke arah kakinya saat di dengarnya
suara sang pemuda semakin mendekat. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin
dalam saat sang pemuda berjalan melewatinya, pemuda itu berjalan dengan
tenangnya tanpa menghiraukan keberadaan sang gadis.
“Hiks. . .” Sang gadis mendongakkan kepalanya saat mendengar isakan
sahabatnya.
“Kau kenapa?”
“Hiks. . . aku pengen nangis, aku kasihan sama kamu pasti rasanya
sakit banget”
“Aku gak papa kok, jangan nangis dong” Sang gadis tersenyum lebar.
Tanpa seorangpun yang tahu, di samping tubuhnya tangan sang gadis
mengepal erat. Bohong. . . tentu saja itu hanyalah salah satu kebohongan manis
milik sang gadis. Gadis mana yang tidak merasa sakit saat melihat pemuda yang
dikasihi sepenuh hati sekarang tertawa bahagia bersama dengan orang lain.
Setelah kejadian itu, sang gadis memutuskan untuk berhenti memandang
ke arah sang pemuda, dia tidak mau merasakan sakit yang lebih dalam gara-gara
perasaannya itu. Dia melakukan berbagai macam hal agar dia bisa melupakan sang
pemuda, dia menyibukkan dirinnya sendiri dengan tumpukan buku soal-soal, dia
menenggelamkan dirinya diantara berbagai macam kegiatan hanya untuk mengalihkan
perhatiannya dari sang pemuda.
Jika ditanya oleh teman-temannya, dengan angkuh dia akan menjawab
bahwa dia sudah move on dari sang pemuda. Tapi sejujurnya di dalam hati
kecilnnya sang gadis belum merelakan bayangan sang pemuda keluar dari hatinya.
Tapi hari ini berbeda, dia akan benar-benar menyingkirkan bayangan
sang pemuda dari hidupnya. Dia sudah lelah mengharapkan orang yang tidak pernah
memandangnya, dia sudah lelah merindukan orang yang bahkan tidak pernah
merindukannya, dia sudah lelah. . . sangat-sangat lelah.
Dengan yakin dipencetnya pilihan ‘Blokir pengguna’ di halaman facebook
milik sang pemuda, dia benar-benar ingin terlepas dari pemuda itu. Tangannya
dengan cekatan menghapus foto-foto sang pemuda dari handphonenya, lembar-lembar
gambar wajah sang pemuda jatuh dari buku milik sang gadis, tanpa berpikir
panjang dipungutnya lembar-lembar hasil karyanya yang seluruhnya memiliki
kenangan tentang sang pemuda, dengan sekali sentak disobeknya kertas-kertas itu
menjadikannya serpihan serpihan kecil yang mengotori lantainya. Hartanya yang
sangat berharga kini tak ubahnya seonggok sampah masa lalu yang hanya mengotori
hidupnya, seonggok sampah yang harusnya dia buang sedari dulu.
Anehnya sang gadis tidak merasakan sakit sedikitpun, tidak sebutir air
matapun yang mengalir dari netra hitamnya. Sang gadis tersenyum, mungkin ini
tandanya bahwa dia sudah tidak lagi membutuhkan sang pemuda dalam hidupnya.
BRUUKK!!
“Aduh!” Sang gadis bergegas keluar dari kamarnya saat mendengar suara
teriakan adiknya.
Di luar rumah tampak sang kakak
sedang berlutut di depan adiknya, sementara tangannya sibuk mengolesi luka di
lutut sang adik.
“Kan sudah dibilangin jangan lari-lari jatuh kan, sakit?” sang adik
hanya menggelengkan kepalanya.
“Sekarang memang gak kerasa sakit, tapi besok pasti bakal kerasa
sakitnya”
Ucapan sang kakak menohok sang gadis yang mengawasi mereka, gadis itu
sudah tahu benar mengenai hal itu. Dia juga sudah tahu bahwa nanti rasa sakit
itu pasti akan datang menghampirinya, dan saat itu terjadi dia tidak tahu
apakah dia bisa menahannya atau tidak.
Ah persetan dengan semua itu, yang pasti sang gadis tidak akan
membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam masa lalunya. Yang pasti sang gadis
sudah sangat siap melangkah maju tanpa ragu, membuka lembaran hidupnya yang
baru.