Rabu, 17 Desember 2014

Moving On



Seorang gadis tampak tengah terpaku di depan laptopnya yang tampak  tengah menampilkan profil facebook milik seseorang –yang tampaknya bukan milik sang gadis– tatapannya terlihat sendu memandang sebuah foto yang tertampang di depannya. Dia menghela napas panjang matanya tampak kalut.

“Sudah tiga tahun lebih ya. . . ” Sang gadis menggumam pelan, matanya tidak lepas sedikitpun dari sosok sang pemuda.

Tiga tahun lebih sang gadis menyimpan bayangan sang pemuda di dalam hatinya. Tiga tahun pula hatinya berulang kali jatuh dan patah gara-gara pemuda yang sama. Mungkin jika diibaratkan sebagai sebuah benda, maka hatinya bagaikan sebuah keramik yang sudah penuh dengan retakan, bahkan sudah pecah di sana sini.

Entah apa yang membuat sang gadis begitu mencintai sang pemuda, padahal jika dilihat-lihat sang pemuda memiliki wajah yang standar. Sang pemuda juga terkenal angkuh karena tingkah polahnya, banyak dari teman sang gadis yang mengatakan langsung kepadanya bahwa mereka tidak suka pada sang pemuda karena sikap angkuhnya yang terlihat begitu jelas, apalagi saat sang pemuda berjalan, dia akan melangkahkan kaki jenjangnya dengan percaya diri, dagunya akan terangkat tinggi, belum lagi matanya yang memandang lurus ke depan seakan mengabaikan keberadaan kawan-kawannya. Tapi bagi sang gadis hal-hal tersebut tidak lantas membuat sang pemuda terlihat angkuh, baginya hal yang dilakukan sang pemuda membuatnya terlihat sangat cool. Yah siapapun juga tahu bahwa cinta itu buta.

Tapi rasa-rasanya sang gadis terlalu buta untuk melihat kenyataan yang ada di depannya, kenyataan bahwa sang pemuda sudah memiliki kekasih yang selalu ada di sampingnya. Kenyataan bahwa sang pemuda tak pernah sekalipun melihat ke arahnya, ah bukan, bukannya sang gadis buta akan hal itu, dia sadar bahkan sangat sadar mengenai hal tersebut, hanya saja dia lebih memilih membutakan matanya dan berpura pura tidak melihat kenyataan.

Tidak ada seorangpun yang tahu kapan tepatnya sang gadis mulai jatuh cinta pada sang pemuda. Sejauh yang diingatnya, dulu mereka bertemu pertama kali saat nama mereka sama-sama tercantum dalam selembar kertas pada saat pembagian kelas. Waktu pandangannya pertama kali bertemu dengan mata elang sang pemuda, hanya satu hal yang muncul di benaknya ‘Pemuda ini menyeramkan’ sejak saat itu sang gadis memutuskan untuk menjaga jarak dengan pemuda menyeramkan itu, dia hanya ingin menjalani masa SMA nya dengan tenang.

Yang diingatnya, saat itu dia sedang berjalan melewati tempat duduk sang pemuda saat matanya menangkap sosok yang bertengger manis di buku gambar sang pemuda. Sang gadis –yang memang menyukai segala hal yang berhubungan dengan makhluk 2D– tanpa sadar melangkahkan kakinya mendekati sang pemuda.

“Wah! Keren! Aku tak tahu kalau kau bisa menggambar sekeren ini!” Sang gadis berkata dengan antusias.

“Hahaha. . . benarkah? Ini bukan apa-apa” Sang gadis terpaku saat mendengar suara tawa sang pemuda, tak pernah disangkanya sama sekali kalau ternyata pemuda di depannya ini memiliki suara yang sangat lembut. Dalam sekejap sang gadis memutuskan bahwa suara tawa sang pemuda ini masuk dalam daftar hal-hal yang disukainya.

Sejak saat itu sang gadis tidak lagi mencoba menghindari sang pemuda, dia mencoba menyamankan diri saat dia berada di samping sang pemuda. Ternyata hal tersebut tidak susah terlebih lagi sang pemuda yang selalu menggodanya bila mereka bertemu, sang pemuda selalu berhasil memunculkan senyuman di wajah sang gadis dengan cara-cara sederhananya. Hal yang selalu dilakukan sang pemuda saat ia duduk di depan sang gadis pada saat istirahat, dia pasti akan menghadap ke belakang ke arah sang gadis, dia akan memandang sang gadis lekat-lekat matanya akan mengawasi setiap gerak gerik sang gadis tanpa berkedip sedikitpun. Hal itu akan membuat sang gadis salah tingkah, siapa coba yang tidak akan salah tingkah saat setiap gerak-gerik yang kau lakukan selalu diamati oleh orang lain. Jika sudah begitu sang gadis akan menggembungkan pipinya dan mendorong wajah sang pemuda dengan benda apapun yang ada di tangannya (biasanya sih buku­). Lalu sang pemuda akan terkekeh pelan melihat respon sang gadis, kekehan pelannya itu selalu berhasil menghilangkan amarah sang gadis, membuat sang gadis memilih memalingkan wajahnya.

Saat itu juga sang pemuda duduk di depannya dan dia menggoda sang gadis seperti biasa, hanya saja kali ini dia mengomentari rambut panjang milik sang gadis.

“Hei, rambutmu dipotong saja, terlalu panjang itu” Yah sang gadis memang memiliki rambut yang sedikit melebihi batas –rambut sang gadis panjangnya melebihi pantat–

“Gak ah, sudah dari kecil aku memanjangkannya kan sayang kalau dipotong” Sang gadis menjawab dengan cuek.

“Dipotonglah, sebahu gitu, kamu pasti kelihatan lebih cantik kalau rambutnya pendek”

“Gak, aku mah jelek, mau diapain saja juga tetap jelek” Sang gadis kekeuh pada pendapatnya.

“Eh, tapi aku lebih suka cewek yang jelek kok” Sang gadis hanya mengerjapkan matanya bingung. Sementara itu sang pemuda sudah asyik bercanda dengan teman sebangkunya, meninggalkan sang gadis yang kebingungan.

Seingatnya beberapa hari kemudian, di pagi hari saat pelajaran belum dimulai sang pemuda tampak kebingungan karena handphonenya hilang. Dia bertanya ke seisi kelas juga kepada sang gadis yang hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu yang membuat sang pemuda semakin kelabakan mencari kesana-kemari. Kemudian saat pulang sekolah, seperti biasa sang gadis pulang bersama dengan teman-temannya saat itu dilihatnya sang pemuda yang tengah bersandar di dinding gang yang merupakan jalan masuk ke sekolahnya. Begitu melihat kehadiran sang gadis, pemuda itu beranjak dari dinding tempat bersandarnya dan menghampiri sang gadis.

“Hei, aku boleh pinjem handphonemu?”

“Hah, mau buat apa?” Sang gadis mengeluarkan Handphonenya dan menyerahkannya pada sang pemuda.

“Mau misscall handphoneku”

“Hoo. . . masih belum ketemu ya?”

Sang pemuda hanya mengangguk, sementara tangannya asyik menari mengetikkan sebaris nomor miliknya. Sang gadis memandang sang pemuda penasaran saat dilihatnya sang pemuda itu memanggil nomornya sendiri.

“Ketemu?” Sang gadis tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Sang pemuda hanya menggeleng pelan lalu menyerahkan handphone milik sang gadis. Sementara itu sang gadis hanya bisa memandang sang pemuda dengan pandangan sedih.

“Hmm...” Mata sang gadis melotot kaget saat sang pemuda memasukkan tangannya ke saku jaketnya dan mengeluarkan handphone yang menjadi sumber masalah itu.

“Namamu. . .” Sang pemuda menyebutkan nama sang gadis sembari mengetik nama di daftar telfonnya.

Dan sang gadis pun baru tersadar kalau ternyata sang pemuda menipunya.

Sejak saat itu mereka berdua semakin dekat, mereka saling melempar candaan satu sama lain. Jika mereka bertemu maka mereka akan saling menggoda, mungkin saat itulah rasa cinta mulai tumbuh di hati sang gadis, siapa yang tahu?

Hubungan mereka seharusnya semakin dekat, ya seharusnya sih seperti itu. Namun saat semester dua dimulai saat itu juga hubungan mereka mulai merenggang, mereka terlihat saling menghindar satu sama lain, mereka juga terlihat semakin jarang bercanda bersama.

Saat-saat selanjutnya semua semakin parah, mereka sudah seperti orang yang tidak saling kenal, saat mereka bertemu jangankan saling sapa, tersenyumpun tidak. Saat kelas tiga adalah saat paling puncak bagi sang gadis. Dia mendengar gosip yang mengatakan bahwa sang pemuda yang terkenal cuek itu akhirnya memiliki kekasih, awalnya sang gadis sama sekali tidak mau percaya namun saat dilihatnya sang selalu bersama dengan seorang gadis yang merupakan adik kelas mereka, membuat sang gadis mau tak mau mempercayai gosip itu.

Sang gadis tetap memaksakan senyumannya kepada teman-temannya yang memandang ke arahnya dengan tatapan khawatir saat secara kebetulan mereka berpapasan dengan sang pemuda yang tengah asyik bersenda gurau dengan kekasihnya.

Seperti saat ini, saat mereka hendak ke kantin, sang gadis berjalan sambil tertawa melihat ulah teman-temannya yang tengah melontarkan candaannya satu sama lain saat tiba-tiba salah seorang dari mereka membalikkan badan sang gadis menghadap belakang membuat sang gadis berhenti tertawa dan menatap temannya itu dengan pandangan bingung.

“Ah, aku ingin pipis, ke toilet yuk” Sang gadis menatap heran ke arah temannya, saat tiba-tiba dia mendengar suara yang sudah sangat dia kenali dari belakangnya membuat tubuhnya membeku.

“Jangan menoleh ke belakang” Dengan suara parau teman sang gadis itu memperingatinya, membuat sang gadis sadar kenapa tadi temannya itu membalikkan badannya ke arah belakang, rupanya temannya itu tidak ingin sang gadis melihat pemandangan menyakitkan itu, pemandangan di mana sang pemuda tengah berjalan bersama dengan kekasihnya.

Sang gadis mengalihkan pandangannya ke arah kakinya saat di dengarnya suara sang pemuda semakin mendekat. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin dalam saat sang pemuda berjalan melewatinya, pemuda itu berjalan dengan tenangnya tanpa menghiraukan keberadaan sang gadis.

“Hiks. . .” Sang gadis mendongakkan kepalanya saat mendengar isakan sahabatnya.

“Kau kenapa?”

“Hiks. . . aku pengen nangis, aku kasihan sama kamu pasti rasanya sakit banget”

“Aku gak papa kok, jangan nangis dong” Sang gadis tersenyum lebar.

Tanpa seorangpun yang tahu, di samping tubuhnya tangan sang gadis mengepal erat. Bohong. . . tentu saja itu hanyalah salah satu kebohongan manis milik sang gadis. Gadis mana yang tidak merasa sakit saat melihat pemuda yang dikasihi sepenuh hati sekarang tertawa bahagia bersama dengan orang lain.

Setelah kejadian itu, sang gadis memutuskan untuk berhenti memandang ke arah sang pemuda, dia tidak mau merasakan sakit yang lebih dalam gara-gara perasaannya itu. Dia melakukan berbagai macam hal agar dia bisa melupakan sang pemuda, dia menyibukkan dirinnya sendiri dengan tumpukan buku soal-soal, dia menenggelamkan dirinya diantara berbagai macam kegiatan hanya untuk mengalihkan perhatiannya dari sang pemuda.

Jika ditanya oleh teman-temannya, dengan angkuh dia akan menjawab bahwa dia sudah move on dari sang pemuda. Tapi sejujurnya di dalam hati kecilnnya sang gadis belum merelakan bayangan sang pemuda keluar dari hatinya.

Tapi hari ini berbeda, dia akan benar-benar menyingkirkan bayangan sang pemuda dari hidupnya. Dia sudah lelah mengharapkan orang yang tidak pernah memandangnya, dia sudah lelah merindukan orang yang bahkan tidak pernah merindukannya, dia sudah lelah. . . sangat-sangat lelah.

Dengan yakin dipencetnya pilihan ‘Blokir pengguna’ di halaman facebook milik sang pemuda, dia benar-benar ingin terlepas dari pemuda itu. Tangannya dengan cekatan menghapus foto-foto sang pemuda dari handphonenya, lembar-lembar gambar wajah sang pemuda jatuh dari buku milik sang gadis, tanpa berpikir panjang dipungutnya lembar-lembar hasil karyanya yang seluruhnya memiliki kenangan tentang sang pemuda, dengan sekali sentak disobeknya kertas-kertas itu menjadikannya serpihan serpihan kecil yang mengotori lantainya. Hartanya yang sangat berharga kini tak ubahnya seonggok sampah masa lalu yang hanya mengotori hidupnya, seonggok sampah yang harusnya dia buang sedari dulu.

Anehnya sang gadis tidak merasakan sakit sedikitpun, tidak sebutir air matapun yang mengalir dari netra hitamnya. Sang gadis tersenyum, mungkin ini tandanya bahwa dia sudah tidak lagi membutuhkan sang pemuda dalam hidupnya.

BRUUKK!!

“Aduh!” Sang gadis bergegas keluar dari kamarnya saat mendengar suara teriakan adiknya.

Di luar rumah tampak  sang kakak sedang berlutut di depan adiknya, sementara tangannya sibuk mengolesi luka di lutut sang adik.

“Kan sudah dibilangin jangan lari-lari jatuh kan, sakit?” sang adik hanya menggelengkan kepalanya.

“Sekarang memang gak kerasa sakit, tapi besok pasti bakal kerasa sakitnya”

Ucapan sang kakak menohok sang gadis yang mengawasi mereka, gadis itu sudah tahu benar mengenai hal itu. Dia juga sudah tahu bahwa nanti rasa sakit itu pasti akan datang menghampirinya, dan saat itu terjadi dia tidak tahu apakah dia bisa menahannya atau tidak.

Ah persetan dengan semua itu, yang pasti sang gadis tidak akan membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam masa lalunya. Yang pasti sang gadis sudah sangat siap melangkah maju tanpa ragu, membuka lembaran hidupnya yang baru.